Sugih tanpo bondo
Digjoyo tanpo adji
Nglurug tanpo bolo
Menang tanpo ngasorake
Trimah mawi pasrah
Suwung pamrih tebih adjrih
Langgeng tan ono susah tan ono bungah
Anteng manteng sugeng djeneng
Digjoyo tanpo adji
Nglurug tanpo bolo
Menang tanpo ngasorake
Trimah mawi pasrah
Suwung pamrih tebih adjrih
Langgeng tan ono susah tan ono bungah
Anteng manteng sugeng djeneng
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka kurang lebih filosofi tersebut berbunyi:
Kaya tanpa harta
Tak terkalahkan tanpa kesaktian
Menyerbu tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Menerima juga pasrah
jika tanpa pamrih tak perlu takut
Tetap tenang meskipun ada duka dan ada suka
Tidak macam-macam membuat nama baik terjaga.
Tak terkalahkan tanpa kesaktian
Menyerbu tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Menerima juga pasrah
jika tanpa pamrih tak perlu takut
Tetap tenang meskipun ada duka dan ada suka
Tidak macam-macam membuat nama baik terjaga.
filosofi ini dipopulerkan oleh seorang Sosrokartono (1877-1952) memiliki nama lengkap Raden Mas Panji Sosrokartono. Ia adalah kakak dari pahlawan Indonesia, RA Kartini. Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Sejak 1897 sampai 1926, ia mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Setelah tidak menjadi mahasiswa Universitas Leiden, ia menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I.
Sepulang dari eropa, Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu lalu mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Ia pun diangkat oleh Ki Hajar Dewantara menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional Taman Siswa di Bandung.
Setelah wafat, ia memilih kata-kata bijak dalam bahasa jawa untuk dipampang di nisannya. Pilihannya jatuh kepada kata-kata filosofis sebagaimana tersebut di atas. Hingga kini, ungkapan filosofi tersebut masih jelas terpampanglah pada nisannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar